Momentum May Day 2025, Kesejahteraan Insan Media Dinilai Masih Memprihatinkan

3 hours ago 8

Ilustrasi wartawan mewawancarai sumber berita | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Jurnalis sering disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi di tanah air, dan melalui tulisannya yang kritis, insan jurnalis tampil sebagai pembela hak-hak kaum terpinggirkan, termasuk kalangan buruh.

Namun yang menjadi keprihatinan, nasib sebagian jurnalis justru tak jauh berbeda dengan kelompok rentan yang sering mereka bela. Di balik idealisme dan dedikasi yang tinggi, para pekerja media masih menghadapi berbagai persoalan mendasar, dari upah minim hingga status kerja yang tak menentu.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida, mengungkapkan bahwa pada momentum Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 ini, kondisi pekerja media nyaris tak berubah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Persoalan klasik seperti gaji di bawah standar dan ketidakpastian hubungan kerja masih menjadi momok utama.

“Kondisi buruh media memprihatinkan. Tuntutan kerja dan risiko yang tinggi tidak sebanding dengan penghargaan secara ekonomi yang mereka terima,” ujar Nani melalui keterangan tertulis, Kamis (1/5/2025).

Hal itu ditegaskan melalui temuan survei AJI bertajuk “Wajah Jurnalis Indonesia 2025” yang melibatkan 2.002 responden dari berbagai daerah di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar jurnalis menerima upah di bawah standar kelayakan hidup, bahkan tidak sedikit yang tidak mendapatkan perlindungan kerja layak.

Disrupsi digital juga disebut sebagai faktor pemicu kerentanan jurnalis saat ini. Peralihan iklan dari media konvensional ke media sosial membuat banyak perusahaan pers kehilangan sumber pendapatan utama. Dampaknya, pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi marak, sementara beban kerja justru meningkat.

“Teknologi digital seakan menggantikan peran jurnalis dalam menyampaikan informasi. Namun ironisnya, tidak dibarengi dengan perlindungan terhadap mereka yang bekerja di balik layar,” ujar Nani.

Ia menambahkan, banyak media justru menyiasati tekanan ekonomi dengan cara menekan buruh medianya. Salah satunya dengan sistem kontrak jangka pendek yang berlangsung bertahun-tahun, sehingga para jurnalis kehilangan hak-haknya sebagai pekerja tetap.

“Akibatnya, jurnalis diposisikan sebagai mitra yang harus mencari penghasilan sendiri. Padahal, mereka bekerja penuh waktu, mengabdi pada tugas-tugas redaksional,” kata dia.

Masalah lainnya adalah rendahnya kesadaran berserikat di kalangan pekerja media. Menurut Nani, hal ini terjadi karena hegemoni perusahaan yang cenderung memandang jurnalis bukan sebagai buruh, melainkan sebagai perpanjangan tangan dari institusi media.

“Padahal dalam praktiknya, jurnalis adalah buruh. Mereka bekerja, menghasilkan produk jurnalistik, dan menerima upah. Maka sudah semestinya dilindungi sebagai pekerja,” tegasnya.

Lima Tuntutan AJI Indonesia di May Day 2025:

  1. Mendesak pemerintah menjaga ekosistem bisnis media yang sehat, independen, dan tidak partisan. Pemerintah harus memastikan kebijakan pemasangan iklan tidak mencederai independensi ruang redaksi.
  2. Mengajak para buruh media membentuk serikat pekerja di tingkat perusahaan atau lintas perusahaan, untuk memperkuat posisi tawar dan melawan eksploitasi struktural.
  3. Mendorong Dewan Pers dan pemerintah membentuk sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja media.
  4. Mendesak DPR segera merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 agar lebih berpihak kepada buruh, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja.
  5. Meminta perusahaan media memberikan kompensasi yang layak dan bermartabat bagi pekerja media yang terkena PHK, minimal sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.  

    www.tempo.co

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |