
SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) edisi ke-24 bertema “#IndonesiaBerbenah: Dari Retorika Arogansi Menuju Retorika Urgensi”, Kamis (25/9/2025).
Kegiatan yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom Meeting serta disiarkan langsung di kanal YouTube Departemen Ilmu Komunikasi UGM itu menghadirkan dua narasumber, yakni dosen Fisipol UGM, Nyarwi Ahmad dan praktisi komunikasi publik, Agus Sudibyo.
Acara dibuka oleh Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM, Rahayu. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa tema Diskoma kali ini sengaja dipilih untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya retorika para pemimpin. Menurutnya, komunikasi yang baik dapat membuka ruang dialog publik yang lebih sehat dan aspiratif.
“Mari diskusikan bagaimana cara terbaik agar para pemimpin dapat melayani publik sebaik mungkin, salah satunya dengan cara berkomunikasi yang lebih baik,” tegasnya.

Minim Empati Pemimpin
Pada sesi pemaparan materi, Nyarwi Ahmad menyoroti masih minimnya empati para pemimpin dalam memainkan seni retorika.
Menurutnya, ucapan elit politik sering kali tidak tepat sasaran hingga menurunkan kualitas diskusi publik.
Ia menyebut fenomena retorika arogansi bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai belahan dunia, terutama di negara dengan gaya populis.
“Tidak ada demokrasi yang berkembang dengan baik tanpa komunikasi yang baik. Banyak jadi blunder ketika pemimpin lebih menonjolkan arogansi dibanding persuasi,” ujar Nyarwi.
Nyarwi menegaskan, persuasi seharusnya disampaikan dengan argumen, pendapat, dan data secara demokratis.
Sebaliknya, pemaksaan justru menjurus pada kekerasan verbal.
Ia mencontohkan respons pemerintah terhadap kritik publik soal penciptaan lapangan kerja yang malah dijawab dengan tagar #KaburAjaDulu.
“Ini bukan diskusi, melainkan bentuk retorika arogansi,” tandasnya.
Teknologi Ubah Wajah Media
Sementara itu, Agus Sudibyo menyoroti bagaimana perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap media.
Menurutnya, media lama seperti televisi dan radio kini sulit lagi disebut sebagai arus utama karena dominasi media digital semakin besar.
“Arus utama sekarang dikuasai oleh digital. Bukan hanya disrupsi, tapi juga merger dan hibridisasi antara ilmu komunikasi dan ilmu komputasi,” jelas Agus.
Ia juga menyinggung soal peran perusahaan teknologi yang kini tak bisa dilepaskan dari perusahaan media.
Menurutnya, penyebaran hoaks sering kali justru menguntungkan platform karena mendatangkan traffic dan keuntungan finansial.
“Kalau kita menggunakan media sosial, bayangkan saja sedang berbicara dengan banyak orang. Maka kita perlu lebih berhati-hati, jangan sembarangan bicara,” tambahnya.
Komunikasi Publik untuk Demokrasi
Melalui Diskoma edisi ke-24 ini, kedua narasumber sepakat bahwa komunikasi publik memiliki peran sentral dalam membangun kualitas demokrasi. Retorika arogansi yang kerap ditampilkan elit politik tidak hanya merusak ruang dialog, tetapi juga mengikis empati serta partisipasi masyarakat.
Di sisi lain, transformasi digital menghadirkan tantangan baru berupa polarisasi, hoaks, dan ujaran kebencian. Karena itu, penting bagi pemimpin maupun masyarakat untuk menumbuhkan literasi komunikasi yang lebih etis, empatik, dan bertanggung jawab.
Dengan komunikasi yang sehat, demokrasi diharapkan tumbuh lebih partisipatif dan mampu merespons aspirasi publik dengan lebih bijak. (Bangkit N)
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.